Dancing on Rainbow

Part 1 ~Lelaki yang manis~

Aku Rawnie Adena,  putri keempat keluarga Elvarette. Kami adalah keluarga dari salah satu bangsawan terhormat.  Aku tidak secantik dan anggun kakak pertamaku Adriana Saralee. Tidak cekatan dan disiplin seperti kakak keduaku Vania Aerilyn. Tidak pula secerdas dan seramah kakak ketigaku Beril Claretta.

Mereka memiliki rambut coklat ikal dengan mata coklat bulat yang indah. Semua penduduk di kota mengenal mereka dan tak pernah ada kabar buruk tentang mereka.  Cantik,  pintar,  sempurna.  Ya,  sempurna adalah kata yang tepat untuk menggambarkan mereka. Tapi tidak denganku. Tak ada orang yang mengenalku. Itu sebabnya aku di sini.  Di kaki bukit yang berhadapan dengan hamparan hutan dan laut diujungnya.

Aku tak pandai berbicara ataupun besosialisasi seperti Beril.  Tak pernah menjadi pusat perhatian di sekolah seperti dua kakakku yang lainnya. Elvarette terkenal dengan orang-orang rupawan dan berbakat di setiap generasinya.  Entahlah apa yang terjadi padaku.  Kulitku gelap terbakar matahari karena sering bermain di laut. Tangan-tanganku kasar karena sering bermain di hutan.  Akademik? Cukup bagus walau tak sebaik kak Vania. Penampilan?  Hahaha kau bertanya tentang aku? Aku adalah kebalikan kak Adriana.  Rambut lurus berwarna coklat tua menyerupai hitam,  mata biru tua hampir sepekat hitam,  wajah yang tidak cantik,  pakaian yang asal dan tingkah yang ceroboh. Yup,  penampilanku seberantakan diriku.

Aku selalu mengurung diri di kamar dan menghindari pesta.  Bukannya aku tak ingin pergi namun aku tak tertarik untuk berbicara. Aku cukup banyak bicara di lain waktu,  mungkin.  Sesekali aku menyelinap ke pesta tanpa riasan.  Tak banyak orang yang memperhatikanku.  Tapi cukup banyak yang menghindariku.  Aku tak suka makanan manis maupun asin.  Aku menyelinap hanya untuk berpindah ruangan.  Introvert?  Maaf,  sepertinya aku bukan salah satu dari mereka walaupun aku menikmati waktuku untuk sendiri.

Aku bersekolah di sekolah umum.  Aku memiliki banyak teman dan sulit dibuat untuk berhenti berbicara. Ada banyak kegiatan yang kuikuti dan banyak hal yang aku kuasai. Bagi mereka aku hampir sempurna,  tentu tidak akan dengan penampilanku ini.  Aku tak keberatan bila mereka tak mengetahui bahwa aku seorang Elvarette.

Kastil tempatku tinggal bernama Rainbow. Bangunan ini tinggi besar dan berwarna serba putih baik di luar maupun dalamnya.  Namun dikelilingi bunga liar berwarna warni.  Di sini aku tinggal dengan seorang pelayan bernama Akemi.  Dia adalah orang yang tenang namun cekatan dan bijaksana.  Penampilannya sama seperti butler pada umumnya namun karena sejak kecil aku berada di sini,  dia seperti seorang ayah yang sangat baik.  Istrinya,  Chika,  meninggal karena sakit setahun yang lalu.  Sama seperti Akemi,  dia adalah wanita yang lembut dan penyayang,  seorang ibu yang sangat baik. Kebaikaan hatinya menurun kepada anak perempuannya,  Akina,  secantik ibunya namun setenang ayahnya. Umurnya baru tujuh tahun saat ibunya meninggal.  Selain Akemi dan Akina,  tak ada lagi yang tinggal bersamaku di sini.

Hari ini adalah hari pertamaku masuk perguruan tinggi.  Tidak seperti sebelumnya,  kali ini aku memasuki sekolah yang telah meluluskan semua kakakku.  Tak ada satu pun orang yang ku kenal di sini.  Biayanya terlalu mahal untuk orang biasa.  Aku menatap kosong meja di hadapanku. Entah kenapa saat ini aku berada di klub memasak tanpa ada satu orang pun yang mau berkelompok denganku. Tentu saja. Pasti karena penampilanku yang tak berkelas ini.

Tiba-tiba saja seorang laki-laki memasak di tempatku.  Rambutnya berwarna orange,  kedua matanya coklat muda.  Aku dapat melihat sebuah jepit merah di rambutnya itu. Dia mengenakan sweater orange yg sedikit kebesaran dan celana denim biasa. Dia terlihat cukup manis sebagai seorang laki-laki.

“Ahh, ” ucapku kaget.  Dia terlonjak kaget lalu menatapku.  Sesaat aku menyadari bahwa semua orang melihat ke arahku.  Aku hanya menunduk malu dan meminta maaf karena telah mengganggu mereka. Sambil membenarkan ikatan apronku aku berbisik pada laki-laki itu

“Apa ada yang bisa kubantu? ” karena tak ada jawaban yang terdengar darinya,  aku mengangkat kepalaku.  Dia hanya berdiri di hadapanku sambil tersenyum.

“Namaku Ren, ” katanya sambil terus tersenyum.

“Rawnie Adena,  kau bisa memanggilku Rawnie, “balasku sambil tersenyum.  Dia berjalan ke sampingku sambil mengaduk adonan.

“Kau lebih manis ketika tersenyum,  Dena, “ucapnya tanpa mengurangi senyum.  Ku rasa dia tulus dan tidak sedang meledekku. Dan yang dapat aku lakukan hanya membalas senyumannya seolah sedang tersihir. Ren membantuku membuat kue pertamaku.  Hasilnya sempurna,  Ren sangat pandai memasak.

“Akhirnya selesai juga, ” ucapku senang.  Ren mengambil dua buah kursi dan tertawa.

“Kita dapat menyelesaikannya namun tak tepat pada waktunya.  Lihatlah sekelilingmu, “kata Ren sambil duduk di kursi,  berhadapan denganku.  Aku menururti perkataannya.  Ruangan tampak kosong,  tak ada satu pun orang selain kami. Sepertinya aku terlalu fokus dengan kue yang kami buat tanpa menyadari bahwa yang lainnya sudah pulang.  Di papan tulis terdapat pesan untuk mematikan lampu dan mengunci ruangan bagi orang terakhir yang berada di ruangan.

“Tidakkah lebih baik kita memakan kuenya sebelum pulang? ” tanya Ren ramah.

“Baiklah,  lagi pula kapan lagi kita dapat menikmatinya selagi masih hangat begini kan? ” ucapku menyetujui.  Dengan cepat Ren memotong kue dan mengambil bagiannya. Setelah suapan pertama dia berhenti bergerak lalu menatapku.

“Tidak enak ya? “Tanyaku takut-takut.

Wajahnya penuh dengan pertimbangan.  Aku yakin pasti rasanya sangat buruk. Apalagi ini percobaan pertamaku memasak.  Tiba-tiba Ren menatapku.

“Rasanya lezat sekali karena yang memasak adalah seorang wanita cantik, “ucapnya dengan senyuman.  Aku yakin dia berbohong.  Tepat sebelum aku berperotes ria,  dia menyuapkan sesendok kue ke mulutku.  Ini kue terenak yang pernah kumakan.

“Tapi aku hanya membantu.  Jadi sebenarnya ini hasil kerja kerasmu,  Ren, “kataku menghilangkan senyuman di wajahnya seketika, “kau tau,  laki-laki yang pandai memasak itu keren sekali loh. ”

Mendengar kata-kataku wajahnya mulai memerah. Dia segera memalingkan wajahnya karena malu.

“Waaahhh.  . Wajah malumu juga manis, “kataku padanya bersungguh-sungguh.

“Su.  .sudah jangan mengodaku!  Lagi pula mana ada laki-laki jago masak itu keren! ” protesnya dengan wajah yang bertambah merah menahan malu.  Aku tertawa melihat tingkahnya.

“Tentu saja keren.  Karena laki-laki yang pandai memasak itu sangat jarang loh, “jelasku di sela tawa.